ArsipSehat Anak-anak merupakan insan yang masih lugu dan polos sehingga mereka rentan menjadi korban kekerasan dan kejahatan. Kasus kekerasan seksual yang dialami AK, bocah berusia 6 tahun di sebuah sekolah internasional di Jakarta, hanyalah salah satu dari banyak perkara yang tidak terungkap di masyarakat.
Menurut Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2006, sebanyak 3,07 persen wanita dan 3,02 persen anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Adapun data Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2006 menyebutkan, terjadi 788 perkara kekerasan terhadap anak dan setiap bulannya 15 sampaumur putri menjadi korban pemerkosaan.
Tindak kekerasan seksual tidak hanya menjadikan syok mendalam, tetapi juga gangguan fisik dan kognitif anak.
Psikiater anak, dr Tjhin Wiguna, Sp A memaparkan, dampak dari kekerasan seksual yang dialami bergantung pada usia anak. Pada anak berusia di bawah 3 tahun, mereka belum memahami apa yang terjadi pada dirinya.
"Jika timbul sakit, maka penyebabnya lebih ke fisik. Bisa juga timbul pengalaman jelek bila ia terus mengingat kejadian itu," katanya ketika dihubungi KompasHealth.
Sementara itu, pada anak usia sekolah, traumanya akan lebih besar alasannya ialah ia bisa terus terbayang insiden tersebut. Pada remaja, umumnya mereka sudah menyadari insiden itu merusak hidupnya sehingga mereka rentan depresi dan putus asa.
"Akibat paling faktual kekerasan seksual pada anak balita dan anak usia sekolah ialah adanya regresi atau perkembangannya menjadi mundur. Misalnya, ia jadi merasa lingkungan ialah bahaya baginya sehingga anak jadi penakut," katanya.
Anak juga akan mengalami gangguan berguru dan sulit berkonsentrasi. "Pemahaman tiap anak pada suatu insiden berbeda-beda. Karena itu, pengaruhnya pun berbeda," ujar dokter yang aktif di Pusat Pemulihan Stres Pasca Trauma RSCM Jakarta ini.
Dampak insiden kekerasan seksual juga tidak selalu pribadi terlihat pada diri anak. Menurut Tjhin, cukup banyak yang pengaruhnya gres timbul bertahun-tahun kemudian. "Sekarang anak terlihat baik-baik saja, tapi dikala sampaumur pengalaman tersebut di-reaktivasi kembali atau diingatkan kembali oleh orang lain," ujarnya.
Anak juga akan kehilangan rasa percaya terhadap orang lain, kepercayaan diri rendah, serta tidak bisa bersosialisasi. Bila tidak menerima penanganan memadai, hal itu sanggup menggerogoti kesehatan mental korban.
"Meski kini efeknya belum ada, anak yang menjadi korban harus terus dipantau alasannya ialah mereka sangat berisiko mengalami gangguan perilaku," katanya.
Menurut Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2006, sebanyak 3,07 persen wanita dan 3,02 persen anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Adapun data Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2006 menyebutkan, terjadi 788 perkara kekerasan terhadap anak dan setiap bulannya 15 sampaumur putri menjadi korban pemerkosaan.
Tindak kekerasan seksual tidak hanya menjadikan syok mendalam, tetapi juga gangguan fisik dan kognitif anak.
Psikiater anak, dr Tjhin Wiguna, Sp A memaparkan, dampak dari kekerasan seksual yang dialami bergantung pada usia anak. Pada anak berusia di bawah 3 tahun, mereka belum memahami apa yang terjadi pada dirinya.
"Jika timbul sakit, maka penyebabnya lebih ke fisik. Bisa juga timbul pengalaman jelek bila ia terus mengingat kejadian itu," katanya ketika dihubungi KompasHealth.
Sementara itu, pada anak usia sekolah, traumanya akan lebih besar alasannya ialah ia bisa terus terbayang insiden tersebut. Pada remaja, umumnya mereka sudah menyadari insiden itu merusak hidupnya sehingga mereka rentan depresi dan putus asa.
"Akibat paling faktual kekerasan seksual pada anak balita dan anak usia sekolah ialah adanya regresi atau perkembangannya menjadi mundur. Misalnya, ia jadi merasa lingkungan ialah bahaya baginya sehingga anak jadi penakut," katanya.
Anak juga akan mengalami gangguan berguru dan sulit berkonsentrasi. "Pemahaman tiap anak pada suatu insiden berbeda-beda. Karena itu, pengaruhnya pun berbeda," ujar dokter yang aktif di Pusat Pemulihan Stres Pasca Trauma RSCM Jakarta ini.
Dampak insiden kekerasan seksual juga tidak selalu pribadi terlihat pada diri anak. Menurut Tjhin, cukup banyak yang pengaruhnya gres timbul bertahun-tahun kemudian. "Sekarang anak terlihat baik-baik saja, tapi dikala sampaumur pengalaman tersebut di-reaktivasi kembali atau diingatkan kembali oleh orang lain," ujarnya.
Anak juga akan kehilangan rasa percaya terhadap orang lain, kepercayaan diri rendah, serta tidak bisa bersosialisasi. Bila tidak menerima penanganan memadai, hal itu sanggup menggerogoti kesehatan mental korban.
"Meski kini efeknya belum ada, anak yang menjadi korban harus terus dipantau alasannya ialah mereka sangat berisiko mengalami gangguan perilaku," katanya.
Post A Comment:
0 comments: